Boleh dikunjungi
Rancangan Situs oleh
(Last Update 31.07.04)
Free Web Site Counters
Tulisan Terdahulu
sekian dulu puisiku.
aku akan pergi untuk waktu yang lama.
sangat lama.
berbaiklah rekan-rekan semua,
dan tetaplah temani puisi-puisiku
yang terlanjur tercatat di sini.
tadi pagi,
suara matahari terdengar merdu.
aku kemudian tergelitik sendirian,
dan geleng kepala tak habis pikir.
setahuku,
semua perasaan cintaku padamu ini
sudah kusembunyikan.
sudah kurahasiakan.
sudah kudiam-diamkan perjalanannya.
tapi rupanya mentari mencuri dengar.
hingga mampu melantunkan melodi merdu,
teristimewa untukku,
dipersembahkan untukmu.
andai semudah itu melontarkan doa.
dia tidak mengerti tentang berbagi.
andai pula selancar air hujan menghantam bumi.
kesucian itu,
kesucian itu menghilang demikian lama dari abuku.
aku bahkan lupa pada kata-kata pelebur kepenatan
dan pembuka pintu penghapusan dosa.
keinginan itu,
keinginan itu menempel demikian kuat pada uap tubuhku,
aku bahkan siap jungkirkan kesuraman untuk membuka jalan
agar mentari gagah hampiriku.
katakanlah aku mengada-ngada,
ketika aku teriak amarah pada arogansinya.
katakanlah aku berteori,
ketika aku menggagas benci pada lengosannya.
suratku datang,
hanya untuk memastikan bahwa kau masih hidup.
atau (malu kubilang),
aku hanya ingin mengatakan bahwa aku baik-baik saja.
cinta membuatku sibuk.
kesibukan yang membuatku tetap hidup
dan bernyawa sembilan.
jenjang pandang matamu adalah padaku.
harus kau akui itu.
sungguh.
aku tidak akan menangis atas jejak duka yang kau coba tinggalkan.
karena kamu akan segera kembali.
saat jenjang pandang itu menatap kosong, selain aku.
apabila aku salah menilai jenjang pandangmu,
aku tidak akan pernah keberatan.
meski aku harus menunggu sekian lama,
yang jauh lebih lama dari batas kesabaranku.
tidak ada gara-gara.
milik Tuhan adalah aku.
aku ingin bisa menulis puisi.
disisihkan dengan sengaja beberapa slot energiku
di hadapanmu, aku hanya bisa jujur.
kamu lupa bawakan aku sekuntum bunga.
sudah rapihkah rumahmu, Ibu?
aku sudah siapkan secangkir kopi.
lelah ragaku pada hentakan jiwa.
semua terjadi apa adanya.
satu hari, cintaku datang dengan sepucuk surat ijinNya.
tertulis rapih.
mencantumkan kesan dengan segera meski tidak tergegas.
namun kini,
cinta tidak dapat bersatu.
aku lupa bertanya, pada potongan waktu dulu.
aku lupa bertanya, sampai sebatas apa ijinku itu.
aku sungguh tidak mengerti akan pesonamu.
terlontar saja kekaguman,
yang seringkali tidak terkatakan secara verbal.
tercurah saja pengharapan,
yang seringkali terdiam dan menyelinap di balik senyum.
aku ingin bisa menulis puisi,
dan aku kumpulkan semuanya untuk kubuat buletin.
buletin khusus untukmu.
dicetak satu eksemplar saja setiap edisi.
sebelum menemuimu di sebuah senja paling anggun,
sekitar ratusan meter menjelang perbatasan.
aku tahu bahwa pertemuan itu akan sangat melelahkan.
kita mungkin akan bercinta.
setelahnya, kita mungkin akan berdebat panjang sekali,
tentang segala tetek bengek keseharian.
setelahnya lagi, aku mungkin akan menguras tenaga
sambil mengganti kerugian atas properti hotel yang rusak.
aku tahu bahwa pertemuan itu akan sangat melelahkan.
aku jadi mulai bertanya,
apa bijak kebiasanku menemuimu ini?
beberapa ratus meter dari titik pertemuan adalah perbatasan.
mungkin alamku sudah berpesan secara terselubung
pada kesepakatan spontan yang pernah kuciptakan bersamamu.
ketika kau siap menyediakan waktu untuk selalu di jelang perbatasan,
aku sudah diingatkan bahwa sudah semestinya ada batas,
antara kamu dan aku.
adalah batas ketika nafas sulit terhirup sewajarnya.
atau ketika pertemuan itu selalu melelahkan.
mungkin itulah cinta,
ketika aku sama sekali tidak bisa membohongimu.
aku jadi ingin lari menjauhimu,
karena kau berkhianat pada kebiasanmu sendiri.
aku hanya akan datang mengunjungimu lagi,
jika kau berjanji
untuk membersihkan rumahmu.
sudahkah kau kecup kening Bapak pagi ini, Ibu?
jadi kau bisa tahu,
apa masih banyak titik-titik jiwa
yang belum kau bersihkan.
aku rapihkan lalu sepucuk kertas istimewa itu.
hari ini,
sebuah puisi lagi untukmu.
saat ini,
sebentuk cinta lagi untukmu,
secara drastis spontan.
hingga tercurah luar biasa pada laluan kata-kata.
hingga berikut terima kasih,
atas nafasmu itu.
juga tawamu, bahkan kesalmu.
hingga kubiarkan saja berat kepalaku.
hari ini kugembira.
seluruh rentaku muda.
hembus membawa berita,
dari yang kucinta.
hari ini kugembira,
sekujur neracaku imbang.
alir membawa penglihatan,
pada kesan-kesan terbaik.
rasanya, adrenalinku tak stabil.
sesuatu di matamu
di jaring-jaring pesonamu, aku luluh,
sebagai akhir dari sebuah catatan tentang pengharapan.
kamu memang luar biasa.
datang begitu saja,
lantas mengaduk rasaku demikian rupa.
senyum sejentik saja,
lantas meronalah hasrat itu.
benar-benar bombastis!!
telah membuatku kehilangan diriku sendiri,
di pangkuanmu.
ada sesuatu di suaramu yang menengadahkan hatiku.
dalam parau itu.
kalau saja kamu tahu,
bahwa hidup kita sudah berubah.
bahwa nafas kita sudah meningkat satu bukaan kelegaan.
Tatapanmu melambat.
Sebisa mungkin menjadi adegan slow motion.
Gerak lambat dramatis, namun hanya pura-pura membawa cinta.
Ucapanmu mengendur.
Urat-urat pita suaramu bergetar berdetak bagai degup.
Tegaskan kegugupan penantian, namun hanya mengundur waktu saja.
Tak usah tatap aku seperti itu.
Tak usah ucap kata selayak itu.
Aku masih akan mengasihanimu,
sampai aku berhenti mengasihani diriku sendiri,
atas tipuan termanis darimu itu.
alih-alih memanggilmu,
aku hidupkan cinta di hirupan nafas awalku.
berikan aku laku indahmu, bidadari
yang bisa saja terus meluncur tanpa janji.
berikan aku terus buai mesramu,
yang dapat mendatangkan ribuan lelap legaku.
adalah waktu yang permainkan kita,
sampai akhirnya kita bisa jatuh cinta lagi.
paling tidak,
aku bisa memandangimu.
paling tidak,
aku akan menyimpan cinta untukmu.
paling tidak,
aku akan mati sambil mengingatmu.
boleh dibilang,
aku keruntuhan duka.
aku lama mencari kedamaian hati.
aku abaikan pengecewaan.
salahku.
boleh dibilang,
aku terkejut.
aku harap hati diusung tawa.
aku lupa bahwa akan selalu ada sentilan kecewa.
apa aku bersalah ketika hatiku mengikuti rasa,
menjejaki simpul-simpul hidup pengertian pikir?
aku, kamu menjelajah waktu dimana rasa dibuai demikian rupa.
apa mungkin kesalahan itu ditimpa di pundakku,
atas keinginan berhenti di sebuah titik,
dan melanjutkan setapakku sendiri?
mataku tenggelam dalam rendah tuturmu.
seakan sulit kutengadahkan lagi,
bahkan untuk menatap lurus pandang matamu.
aku sudah mengerti kesalahanku.
sehingga ada baiknya tuturmu,
seakan mengerti bahwa amarah hanya membuang energi sia-sia.
masih
ya, lembah malam mulai menua.
dan ya, aku masih mencintaimu.
gol
wajah lelaki
kini kau dua langkah berlawananku
waktu itu senja,
di ujung desa yang saat itu ramai.
kamu hempaskan bola itu ke gawang, dua kali,
giring kemenangan sampai piala pun kamu bawa pulang.
beberapa jam setelahnya,
kamu kata merdu di telingaku: 'gol itu untukmu, kekasih!'
wajah lelaki dalam cermin refleksi diriku bertambah tampan,
persis pada saat sebelum aku mati.
apa aku disiapkan untuk bertemu bidadari?
kau balas menjauh,
dan campakkan senyumku.
alangkah senang seruntun sapaan,
ketika datang dari mereka yang dirindu.
alangkah mentah kuntum bunga yang kutanam,
ketika tidak tahu untuk siapa disembahmukakan.
aku jadi diam.
dan aku mulai mencatat banyak hal,
dimulai dari hal-hal kecil tentangmu.
aku juga temani torehan pinsil-pinsil itu,
sambil meminta jawaban akan semakin jauhnya dirimu.
gelak atas dosa
alangkah gelak yang menyenangkan,
pada sebuah kesan gejolak rasa.
gelakku dulu tak pernah memabukkan.
kecuali kini,
ketika aku mulai mengenal dosa, disertai noda.
ibu teriak dalam keriuhan.
ibu memanggil namaku.
ibu tenggelam dalam pikuk nafas berat memburu.
ibu teringat diriku.
kamu lompati pagar berduri,
setiap pagi,
rengkuhan keajaiban menghinggapi suntuk mata hatiku.
aku ingin mengistirahatkan hatiku,
bisa saja kita tertawa hari ini.
sesuatu di atasmu itu telah meracuni senjaku.
lebih baik aku jatuh bersamamu,
itulah mimpi.
dan menyampaikan suratmu yang pertama.
maafkan aku karena diam.
maafkan aku karena tidak mengantarmu ke ujung pagar berduri itu.
kamu jadi harus melompat lagi,
bergegas sebelum dunia berputar
atau mengelilingi memusuhimu.
kamu lupakan pikiran buruk,
dan menandakan sebuah hasrat kasih di batinku.
rencana cintaku buyar.
termakan oleh guncang gundahku terhadap wanita.
adalah kamu, yang mengenalkannya padaku.
adalah kamu, yang rela sentuhkan rasa itu padaku.
lagi, untuk kesekian kalinya.
adalah bodoh, jika aku tetap berlalu
dan membiarkanmu menuliskan sepi di keseharianmu.
adalah konyol, jika aku melenggang sendirian,
sementara aku dapat menjaga hatimu.
pada benam dadamu yang berdetak kencang.
atau cukup kau belai saja aku,
tanpa tendensi apapun.
aku ingin mengayunkan langkah lagi,
menyusuri riak air pantai yang sepi.
seakan tidak berpenghuni.
bersama sejuta canda dan tawa,
bisa saja kita terbahak hari ini.
masalah tidak sempat sampai di pemikiranmu.
masalah mengendap dan sulit beranjak.
bisa saja kita berpelukan dalam bahagia hari ini.
bersama keinginan berbagi dan kasih,
bisa saja kita tersenyum hari ini.
mengesampingkan duri-duri.
mematahkan seluruh duka-duka yang ingin terserap.
aura hasrat yang melingkar berputaran di atas kepalamu
telah merenggut senyuman senjaku.
benih-benih pikiranmu telah jauhkanku dari kasih.
atau aku akan tercekik dalam lembut keterjerumusan.
sedikit menghabiskan waktu-waktu terbaikku.
beberapa kali menggoda jiwa nyataku.
itulah mimpi.
sedikit memiliki keinginan terindahku,
untuk menghadirkan keagungan dirimu.
isilah mimpi.
tolong datang dan isilah mimpiku saja,
jika nyata dalam bumi dimana kita berpijak adalah kemustahilan.
jika nyata kecupanmu di pelipisku adalah kepura-puraan pemikiran.
gundah memikirkan seperiuk nasi,
lelaki tua itu pun beranjak menatapi malam.
dia menekan lubuk hatinya dengan keras,
agar tak meminta ijin pada Tuhan atas sebuah pengabaian.
ada keinginan.
ada perandaian.
ada pemikiran untuk sesaat saja tidak memikirkan anaknya,
dan melenggang bebas tanpa periuk nasi di tangan.
tapi lelaki tua juga memiliki keinginan
untuk menghembuskan nafas terakhirnya
dengan ingatan akan suapan hangat anak-anaknya.
jangan-jangan,
seperti jurang, kata-katamu itu.
mari kita duduk tenang dan berpikir sederhana.
tepat jam 11,
terkadang di larut malam, aku meradang.
siang itu sebatas tipuan.
sebenarnya malam, sebenarnya kelam.
jangan-jangan,
cerah itu sebatas celoteh.
sebenarnya remang, sebenarnya gelap.
aku sudah memasang pagar paling aman.
aku juga sudah jalan menyisi.
namun lontaran kalimat dari fibra mulutmu itu
mencantumkan jatuhnya tembok kestabilan mentalku.
kata-katamu seperti jurang,
kemudian longsor
dan menghabiskan setapak yang sedang kujejaki.
semestinya, aku berpikir untuk memasang sayap,
dan siap untuk terbang.
daripada aku harus bergelayut tidak menentu
pada seutas akar, sambil berharap akan kekuatan.
wanita itu pernah bersamamu,
menghibur penantian lamamu yang hampa.
wanita itu mendaratkan rasa malu bercinta dalam dirimu.
wanita itu mengenalkan sikap tersipu pada luapan hati.
lantas,
kini kamu menangis, ketika dia pergi.
untuk apa?
bersyukurlah atas jejak-jejak cinta dalam pribadimu sekarang.
bersyukurlah atas pedih yang direntangkan pada gejolak perasaan.
fibra suaramu mulai tergema di balik telepon.
dan sebelum waktu itu lepas,
menyentuh catatan waktu yang lain,
lantun itu kembali senyap.
kau tahu,
bahwa pukul 11 kerap menjadi waktu terindah.
keranjang rencana tentang dirimu telah koyak,
sukar dianyam kembali.
aku tidak akan seduh sisa kopi itu.
aku akan biarkan saja, tetap jejali pembungkusnya.
membelinya bersamamu, membuatnya berharga.
mencicipinya denganmu, menempatkannya permata.
terkadang di terbit pagi, aku meradang.
memikirkan setiap tegukan kopi yang akan segera kujelang,
tanpa senyum nyata darimu.