Boleh dikunjungi
Rancangan Situs oleh
(Last Update 31.07.04)
Free Web Site Counters
Tulisan Terdahulu
dimana kamu sembunyikan setengah nafasku, kekasih?
aku yakin, ada di balik senyummu.
aku berseru terus bahwa aku tahu kau menyimpan semuanya itu.
kerut keringat sempat tampak
kok ramai ucapanmu?
juklak hati sudah dipertaruhkan.
aku di sini.
jejali langkah pagi ini
sebelum jatuh berdebam tanpa suara
di pusaran pemikiranmu.
kamu tahu aku sudah lelah berusaha
dalam menemuimu.
kenapa kamu tak kunjung berbaik hati padaku?
kamu tahu langkahku sudah diseret,
bukan lagi tegap gempita ketika pertama mengenalmu dulu.
kenapa senyum pun sangat mahal kau amalkan untukku?
kamu tahu aku lelah, kekasih mayaku!
dan meski tak ada yang bisa kukatakan secara langsung kepadamu lagi (kata-kata sudah habis),
kukirimkan saja degupan keringatku.
untuk sekedar ingatkan bahwa cintaku tak akan pernah berhenti meski lelah.
meski keringat semakin menipis karena menjelang habis akibat mati.
tak bisa berhenti lontarkan utas-utas kata kekesalan
utas-utas kata kemarahan
terus dan terus,
sampai memerah telinga, sampai abstraksinya sekalipun
aku terlanjur memahami testimoni alam terhadapku
sehingga aku sulit menerima sikapmu itu;
yang sedemikian mudah memanjakan kekuatan mulut untuk berbicara
seakan lupa pada kekuatan dan mantra jahatnya.
mulutmu adalah harimaumu.
mulutmu adalah potensi sebuah jantung sembilu, pembunuh ketenanganmu.
selain melibatkan keakuanku,
kau merengek minta diikutkan.
dunia memang sudah gila!
semua berjudi.
banyak yang melangkah dengan ketidakpastian,
atau hanya menuruti arus.
kuburan jiwa terus menempel erat di pipimu sebelah kiri.
kau bukannya berkeringat ketakutan,
malah melonjak kegirangan,
meletupkan adrenalinmu.
akulah lelakimu.
aku terkadang terlambat menemuimu di malam hari.
tapi aku tetap disini, kekasihku!
Sebagai lelakimu.
dengan ingatan akan tegukan kopi.
penuhi kerumunan daun meranggas pada setapak
dengan seakan-akan kafein pembuai jiwa.
aku mungkin salah memilih untuk sendiri
apalagi dengan cintamu yang tidak tertahankan itu.
bagaimana hendak kuhancurkan kelopak bunga,
sementara tumbuh saja masih tersendat
oleh keraguan untuk melangkah?
hampir tertikam pisaumu di hatiku
benar lama.
rencananya, malam akan aku isi dengan air mata.
hampir aku melonjak kegirangan
atas penganugrahan cintamu kepadaku.
sudah ada persetujuan untuk kisah kita,
ketika mendadak kau urung coretkan nyeri pisaumu
atas konsekuensi cinta yang kita sepakati.
(atau aku sepakati)
sudah berwarna gambar hitam putih kita oleh cinta.apalagi, kita telah siap untuk terluka.
entah apa yang merasukimu.
kamu hanya merobek perjanjian kita
dan memesan meja yang lain yang bukan meja yang aku pesan
untuk makan malam pertama kita sebagai kekasih.
di sebuah restoran tak ternama di ujung jalan proklamasi.
sungguh!
berikan saja aku satu senyuman saja.
dan itu cukup!
lantas pergiku ke arah lain,
berlawanan denganmu.
aku jadi ingin tahu,
apa benar kamu akan menemui lelaki itu
di ujung jalan Malioboro.
aku tidak akan membunuhnya, tenang saja!
aku juga tidak mungkin membunuhmu.
aku hanya akan menjabat tangan air mata,
dan pergi menjauh dari sentuhanmu
yang akan segera menjijikan.
jarang sekali mentari terbit dua kali dalam satu hari.
dan saat ini,
adalah salah satu dari saat-saat indah itu.
saat ini,
adalah saat aku melihatmu lagi.
manusia kadang lupa pada mulutnya.
berbicara lupa dipikir
tersenyum lupa untuk tulus
mencium pun, seringkali lupa pada hal-hal yang jelas dilarang
mulut manusia mungkin bukanlah plastik,
melainkan lubang ventilasi yang kadang tidak dibatasi kelambu.
ada apa di bola mataku?
selalu tidak timbul keyakinan dalam dirimu
setelah menatap mataku.
selalu mencekam katamu pada diri sendiri
setelah mencokok pandangku.
aku pernah memiliki keyakinan
bahwa pandanganku adalah surga
bahwa tatapanku menghapuskan dahaga
adalah teduh
adalah kedamaian
apa semua telah hilang dan sulit terbangun kembali?
satu hal yang aku pinta,
acap peluk menjadi doa,
jangan pernah duakan cintamu itu.
untuk siapapun.
satu hal yang aku cinta,
dermaga hati tulusmu itu,
untukku.
ketika erat tidak terbantahkan oleh gundah.
sampai mana aku harus memegang tongkatku sendiri,
tanpa kau memapahkannya untukku?
bisa saja aku bertahan,
tapi sepertinya lebih baik jika berjalan bersama, kurasa.
kamu lihat apa dalam jujurnya pagiku?
setelah bercinta semalaman,
dan terbangun di jajaran nafas-nafas terkini,
kesan apa yang termaktub dalam benakmu?
aku terbius keingintahuan, kekasihku.
sungguh.
aku sepertinya memerlukan itu,
sebelum aku memetakan langkah hariku hari ini.
kamu adalah seseorang yang akan selalu aku cintai.
aku mencabut tongkat pemukul kebencian
sama sekali aku sulit mencintaimu.
pertama,
tampar!
alangkah lelah sudah darah meneteskan harapan di ujung hati..
adalah pendengaranku yang tajam akan keganjilan jiwa.
dan tidak ada keganjilan dalam dirimu.
tidak ada pendengaran yang terganggu.
kamu adalah mataku dalam menyusun cita-cita mataku.
kamu tahu rasanya berenang dalam kesedihan?
kamu bahkan sulit mengundang air mata pedihku.
kamu hanya bisa menjatuhkan air mata haruku,
atas kehadiran dirimu di depanku.
dan menanamkan cinta pada lubang yang tertinggal.
aku sudah bertemu bidadariku tadi malam, seperti mimpi.
aku bahkan sudah berbincang panjang lebar
hanya lewat mata.
tidak ada lagi keyakinan yang lebih besar
dibandingkan keyakinanku untuk bersamamu.
tidak ada keinginan lagi selain mendudukan diriku sendiri
untuk selalu bersampingan batin denganmu.
sama sekali sukar.
itu berarti malam akan menjadi lebih panjang
di seluruh drama ranjang kita
itu berarti senja akan menjadi lebih lama
di seluruh tegukan kopi kita
sama sekali tak ada kata untuk menyusutkan dirimu
sama sekali diam.
aku diam.
pernah ada kata-katamu yang menjenguk ruang cinta hatiku.
kedua,
pernah ada senyuman manis bermuatan sayang darimu padaku.
ketiga,
pernah ada keberadaanmu yang berarti luar biasa pada detikku.
keempat,
pernah ada keinginanku memilikimu.
jadi meski pertemuanku denganmu sudah sangatlah usang,
apa aku salah ketika mengabarkan berita
bahwa kita bisa memulai sesuatu yang baru diantara kita?
aku ingin berseru pada bidadari khayangan (jika ada)
untuk meminta tamparan pada keheninganku.
jambak!
aku selalu berharap sakitnya cinta dapat menjambak sisi batinku,
memberikan warna-warna atas kesunyianku.
beberapa patah kata putus asa kemudian keluar sebagai spontanitas,
pada mendidihnya urat-urat otakmu yang lembut.
maafkan aku atas cacian dirimu sendiri padamu...
maafkan aku karena terutama tak bisa menolongmu..
akan ada di sana, takdirku,
bersamamu.
bagai pelukis lupa pada kuasnya
bagai penyair jengah dengan kata-kata
akhirnya aku sodorkan sebuah pena.
dimana aku dibutuhkan,
pertanyaan terselip di sela nafasku yang menggelontor ke hirupanmu.
aku tahu kau ada di luar sana.
di sini rindu.
hapus jejak bibirmu di tengkukku,
aku minta kau menulis
dan jangan pernah ragu untuk berhenti di satu titik.
hati akan menyegera tulus.
seperti sarapan pagimu selalu.
atas dasar cinta.
kemudian kau berlari dan jejalkan ciumanmu atasku.
kau selalu membungkam pertanyaanku
dengan ciumanmu.
entah karena apa.
aku mengerti kau belum bisa melambai padaku.
tapi sampai kapan akan kutunggu cinta?
apa tidak lebih baik jika aku mencari saja cinta,
dan mengkhianatimu yang belum bisa keluar
dari haribaanmu dan membukakan cinta untukku?
ratus ribu tahun kesabaran asmara.
di sana kesetiaan.
ratus ribu rayu goda tercuai.
seraya perih menggurat
bertalu.
konon, cinta tak merisaukan jejak.
konon, waktu menyembuhkan.
aku gigih, sayang, mempertahankan cinta itu.
aku terbujur renta, tanpa daya.
aku berputar dalam aroma keheningan,
serasa seluruh dunia mengelilingiku tajam,
dan ingin menghapus aku dalam tetesan tintanya.
kita melambai perlahan pada masa lalu.
daun-daun pun jatuh,
berguguran.
kita berpegangan erat melenggang setapak itu lagi.
suara-suara pun bersahutan,
mencerca.
kita berpandangan lekat memenuhkan diri pada bincang.
buku-buku lantas terbuka karena tiupan misterius,
mencibir.
apa kita siap melawan alam, sayangku?
apa kau pernah memburu sebuah pesan
andai malam penuh cinta,
bencana meradang di ujung senyuman seorang wanita muda.
yang sempat tampak di permukaan terluar seseorang
namun tak mampu terucap verbal secara nyata di depanmu?
jikalau belum,
bergegaslah berkemas dan siapkan senjata.
kalaupun kau mati,
akanlah ditemani bidadari penghembus surga.
akan kuajak kau menahan dirimu pada keterjagaan.
mungkin, kantuk beratlah yang datang,
tapi aku harap kau bertahan
karena inilah cinta yang kita nikmati.
andai cinta penuh kegelapan,
akan kuajak dirimu berdiskusi tentang arah cahaya.
mungkin, sama-sama meraba dalam kebutaan,
tapi aku harap mata lain berbicara
karena inilah gelap yang kadang dilewati.
belum tersirat alasan,
atas episode-episode yang diusungnya.
temanku adalah Jefri.
seorang lelaki muda, sedang tanpa kepribadian.
dia merangsek tanpa logika
dan membeberkan kerapuhan dirinya
untuk berselimutkan erat bencana
di balik senyuman wanita muda itu.
aku tidak berpikir tentang kebijakan.
semua adalah cinta,
dan aku mencoba menyerahkannya pada tangan alam
agar bijak datang atas dasar cinta.
bukan pemikiran.
selamat atas kemenangan sebuah kibul terbesar abad ini,
pada petikan gitar itu,
kalah saja rasanya tembakau ini oleh sepi.
otak itu rendah dan menusuk matamu lagi.
aku menulis lagi.
terhadapku.
jangankan meliuk untuk menghindar dari peluru,
aku bahkan tidak akan bergerak sedikitpun atas tongkat yang dipukulkan,
ke arahku.
gelap, seluruhnya.
pening, sepekat-pekatnya.
selamat sekali lagi,
atas perselingkuhan itu
dan mari kita bertemu di ujung pedang pemburu nafas, di bukit sebelah!
akan aku hentikan nafas-nafas sombongmu itu!
kamu ternyata selipkan segigih perasaan cinta.
aku sempat malu atas ketidaktahuanku.
atas keengganan menatap matamu yang selalu tertuju kepadaku.
pada pekikan suaramu,
kamu ternyata menabuhkan gendang rasa terhalus menghujam hati.
aku hampir gagal topang kukuh batinku.
hampir terjatuh karena asmara, atas sisi memabukkan itu.
sudah berpuntung terabai berserakan,
sudah bergumul asap memenuhi nafas,
namun sepi tak kunjung menyatakan pamit.
kering saja hisapan tembakau
dan membentur kokoh kelambu kesunyian.
aku jadi ingin memanggilmu lagi,
sambil menyiapkan sembilu
untuk menyempurnakan sakitku.
kau pun buta,
lantas kehilangan kepercayaan pada logika.
saat itu november.
awal-awal tahun masehi.
itulah pertama kali kita memagut senyum bersama,
dalam cucuran keringat harian di terik matahari yang panas.
itulah saat dimana kita berani menjadi jiwa,
dan tidak sembunyi dalam polesan tubuh-tubuh necis.
kemudian rumor pun datang,
lantas isu beredar jungkir balik,
tepat di saat aku berpuluh jam darimu.
cemaslah yang kemudian jadi alasan aku datang di sore itu.
dengan kereta malam pertama.
namuan terpaku justru jadi tindakan pertama,
ketika mendapatimu kehilangan logika,
dan memutuskan untuk berdamai dengan sisi otakmu yang terendah.
dengan mata hati yang tersisa.
dengan tinta yang akan terus menetes.