Boleh dikunjungi
Rancangan Situs oleh
(Last Update 31.07.04)
Free Web Site Counters
Tulisan Terdahulu
butuh kelembutan cahaya lampu remangmu,
dan membuatku terikat kencang di kekang rasa.
terhadapmu.
terhadap kita.
blitar, 20 sept 2004
biarkan aku bermain sejenak saja, Ibu!
alam ini terlalu lucu
dan sungguh menggodaku
dengan riuh rendah mentari
dengan tawa-tawa penghuni tetapnya.
biarkan aku tengadah pada keajaiban ini
untuk saat-saat terbaikku.
akhirnya, aku bertengger lagi,
aku pernah bersandar di sampanmu
inilah idola kembarku.
masih berbentuk sesuatu, perasaanmu dan ku.
pandang saja yang kuharapkan, tidak lebih.
dalam hidup ini,
kenapa seorang lelaki kemudian kehilangan tawa?
tolong jaga kerinduanku dengan simbol-simbol implisit
di deru air yang tenang.
tanpa pemikiran.
tanpa ekspektasi berlebih.
tanpa rendahkan suaraku terhadap rasa kepadamu.
semalam kau telah jejali aku dengan kerinduanmu
sehabisan senja kemarin,
kau sudah berikan segenggam pengertianmu akan kasih.
jadi sungguh kukatakan,
aku memang mengasihimu!
dan menatap awan bergerak dengan cepat.
kamu kemudian mengusap kening basahku,
dan menceritakan kisah-kisah jenaka
hingga jejalkan rasa terbaik dirimu, hanya untukku.
adalah gurat asmara kini
setiap kali menatap sampan usangmu,
membayangkan seakan kau masih saja di sini
dengan senyuman bombastismu itu.
kurasa Tuhan sedang menutup muka karena malu,
mengetahui bahwa rasaku dapat menggugah maha.
dari dua sisi langkah pagiku ini,
secangkir kopi pengusir riuh gusarku kerap berteriak
dan memaksaku untuk menemuimu lagi.
masih tertinggal redam asmara itu, antara aku dan kamu.
aku mulai bertanya,
kapan dunia akan berhenti berputar untuk sejenak
dan biarkan aku berlarian dalam asmara
dengan kekasih tanpa waktuku.
aku sudah berjalan seuzur usiaku,
menemui jenjang-jenjang kasih paling ekstrim
dan terkadang menutup mataku sambil menahan air mata.
tatapmu saja yang kuinginkan,
sebelum aku kembali berjalan
dan meninggalkanmu dengan kesan.
aku telah dicintai olehmu.
dimanjakan jutaan kasih.
setiap puncak amarah yang aku tempuhi
setiap pergulatan yang aku jalani,
menjelma tantangan bagimu untuk meredakanku
dan kau justru habiskan sisa waktu dan pemikiran
dengan asmara.
karena jurang kebosanan sedang gerogoti dirinya seperti duri
mematikan sensasi rasanya ataupun menghambarkan ambisi.
dan mulai menulis surat kaleng untuk malaikat penoreh cinta.
aku sudah berjuang sekuat hati dan setegar jiwa,
hanya untuk menjinjing sebuah keinginan untuk mewarnai hidup lagi.
tapi rumit,
karena perpanjangan jari-jari kasih ini selalu tertambat di dirimu,
selalu menggores pedih ketika menyadari kau jauh sekali dari sisiku.
sekelebat kenangan saja, dirimu.
sebuah berita kabur-kabur samar saja, keberadaanmu.
detik lucu terbaik di sisa hari
mencuat meradang mengikuti isi hati alam yang buas.
dia tidak pernah puas dengan hari,
hingga dia terkadang lepaskan tawa yang tinggal setitik,
untuk ditukar dengan perjudian untuk mendapatkan gelak berjuta.....yang kadang hilang,
karena tawaran selalu muncul sebagai godaan setan akan mimpi-mimpi semu.
langkah ringan paling mantap di akhir malam
merintih menusuk melakukan pembalasan pada gusar.
dia tidak pernah menikmati
senyuman manis seorang lelaki sedikit tua yang mencintainya.
dia selalu ingin menukar koin cinta lelaki itu,
dan melemparkannya ke meja dadu untuk beradu untung dapatkan bunga jantan muda,
yang kadang hanya jejalkan permainan tanpa akhir.
butuh kelembutan cahaya lampu remangmu,
membuatku terikat kencang di kekang rasa.
aku jadi merasa merangkak di lantai termegah nirwana
dengan baju lusuh yang tak pernah sempat dijahit.
saking terdesaknya pada pemuasan rasa,
aku tak sempat bariskan kesempurnaan penampilan
untuk menghadap senyummu siang ini.
dahaga keramaian jiwa dan hatimu,
membuatku marah pada kesunyian berjuta
yang sudah melangkah bersamaku sejak lama.
Dan aku benci,
menempatkanmu sedemikian berharga,
sementara kau tidak dapat menjaga keberdirianku
dalam kewibawaan yang seharusnya.
satu puisi,
terburai bersama air matamu.
aku mengalah pada kata-kata tertulis
bahkan terbacakan di depanmu,
karena kau ternyata tetap menangis.
harus kuredakan dengan apa tetesan air matamu, kekasih?
kata-kata dalam satu puisiku,
tampak seperti omong kosong saja, akhirnya.
kilah tingkah rindumu padaku sudah menjemukan.
maaf saja kukatakan,
tapi aku berharap matamu sejenak nanti akan tersadar.
jantan pergiku darimu juga sudah tak tertahankan.
permisi yang kulayangkan terdengar absurd,
namun bukankah aku pernah memberikan peringatan itu padamu?
kata-kata manis buaimu,
toreh gundahku,
apa tak lebih baik jika kita berhenti sejenak?
aku pernah berjalan tanpa nakhoda
di sebuah padang lembut kesunyian.
semuanya lahirkan kekuatan keinginan,
hingga lantas aku tergerak saja
untuk kumpulkan pedang, penjagal takutku.
akan aku katakan pada ibu,
bahwa kamu akan pulang terlambat senja ini.
aku tidak akan membocorkan rahasia kecilmu kepadanya,
jadi teruslah mencari cintamu sampai hati tergerak bahagia.
aku ingin berjalan tegar satu kali saja
kutemukan alasan untukku sendiri
di sisa umurku yang semakin menipis.
sudah banyak langkah ketakutanku
sudah tak terhitung gontai lelahku
selalu saja ada gerak-gerak raguku
selalu saja terusik kepercayaan diriku
aku ingin ditemani olehmu satu kali saja
di sisa nafasku yang semakin tersengal.
jika ingin mencoba untuk merindukan hati tenangku.
alasan itu adalah kamu.
cuma kamu.
berapa kali pun jarak antara titik berdiriku
dengan titik terdudukmu, tetap saja sedekat jiwaku
kamu sudah tergores sebagai sisi terindah pagi dan malamku
kamu memberikan jutaan alasan untuk semua arti indahnya kesenian.
kamu bahkan memberikan alasan kepada dunia,
untuk memulai menoleh ke arahku.
terjerat di selokan,
aku teringat kamu.
kekasihku.
aku terhujam ledakan bom.
hanya bisa terhuyung dan jatuh lagi.
terhuyung dan jatuh lagi.
terkapar di pinggir jalan,
masih dengan seragam polisi,
aku teringat akan ibu.
maaf.
ini adalah kota dengan gejolak.
dengan hulu ledak.
inilah Jakarta, yang kembali guncang titik-titik sendu.
tidak berasa sama
kata-kata terakhirku menuju pintumu.
sudah aku tulis dalam cetak
sudah aku hapal dalam ingatan
tapi aku kemudian kalah oleh kesan pertama,
selalu kesan pertama...
apa aku sempat menyesal mengenalmu?
tidak!
apa aku sengaja menempatkan dirimu sebagai cinta pertamaku?
kurasa malam sudah meledak,
aku jujurkan mata pada langit yang cerah.
ketika kita sedang bersama.
entah hendak menyentuh titik rawan yang mana
seluruh ucapanmu itu
entah bermaksud apa pada jiwamu
seluruh rentetan kataku itu..
kurasa,
malam memang sedang ingin meledak saja
menuntaskan drama rasa yang kadang terjebak.
atau selalu terjebak.
lantas, menjelang senja...
lalu, teringat kamu lagi.
mendadak, pelangi itu datang...
kuyakinkan diriku
bahwa kamu berjalan di atasnya
dan memandangku lekat...
inginku menangkap kebahagiaan mataku
oleh genggam tanganku yang jujur.
sungguh sulit pertahankan kejujuran
sungguh mengharu bisu kedatanganmu di pintuku hari ini.
tidak ada buku di tangannya,
kamu adalah sebuah alasan untuk berpaling pada cinta kembali.
wadah kerinduanku akan dirimu
hati menari dengan sedikit tertawa
melainkan kail pengambil sampah
yang memunguti remah-remah berharga,
sisa dari seluruh perayaan semu umat manusia.
tidak sempat mengamati terlalu berita dalam koran terbaru,
apalagi sambil menopangkan kaki dengan seruputan kopi.
sejak pagi buta, tergerak selalu untuk melangkah memunguti
menjejakkan harapan untuk menangguk lagi rupiah pagi.
sudah saatnya kamu istirahat, lelaki tua!
bukan lagi mengucurkan terus keringat lelah di tubuhmu.
bukan lagi membangun pertahanan diri pada sebuah tanggung jawab.
sudah saatnya kamu biarkan mulut anak-anakmu mengais sendiri suapannya
apalagi mereka sudah mampu berjalan tanpa kau bopong
apalagi mereka sudah mampu berkata lantang tanpa kau papah
tidak ada penghiburan diri akan kenangan-kenangan dalam album foto terbingkai,
melainkan hanya bisa memandangi ekspresi-ekspresi orang lain
dan mencoba mencocokkannya dengan yang pernah dia alami.
tidak ada pengharapan yang terlalu,
selain tetap mencintai kekasih jiwanya.
sampai ujung kakinya beku bisu tak bernyawa.
sampai nyawa itu perlahan melayang pamit meninggalkan raga.
beruntung, malam menggigil kedinginan dalam sepi,
sehingga aku bisa memeluk diriku sendiri lewat ingatan atasmu.
sudah tidak tertahankan lagi.
jadi meringkuk kesepianlah aku ditemani angin terakhir
yang terhembus dari hari baik ini.
aku tetap makan, kekasihku!
tetap bernafas!
aku tetap berjalan, kekasihku!
tetap menghadap jalan kebaikan!
lalu aku mendekatkan diriku pada sebuah kolam asmara.
aku bermaksud menitipkan kerinduan ini
atau sekedar menyangkutkannya sebagai kesan.
menertawaimu yang terpojok
di sebuah arti kekalahan rasa.
pikirku melenggang dengan sedikit tengadah
menegaskanmu yang tertunduk
di selintas kemunduranmu akan harapan.
menangislah sedikit, saudaraku!
dan sedikit menemani titik-titik pedih hidupmu
juga air mata pilu kepahitan kenyataan.
Suatu jenak waktu,
aku menyempatkan diri mengunjungi berbagai perbatasan....
perbatasan yang jemu,
perbatasan yang hiruk pikuk
dan termasuk perbatasan-perbatasan yang seakan tak memiliki tepian...
perbatasan kekal yang tak kenal kata 'kembali'...
ada sebuah negeri di awan
dan aku pernah berdebat demikian hebat di gerbangnya,
hanya untuk meyakinkan para penjaga
bahwa aku ingin mengunjungi negeri di Awan,
meski masih ingin 'kembali'....
Malam itu liar!!!
sungguh kutelah runutkan rasa terakhir ini untukmu,
Perahuku tetap tertambat kesepian di sisi pantai..
melayanglah kedua mataku
Lelaki berlenggak-lenggok, layaknya wanita....
Ah, janganlah sempat kau cium aku!!!..
sungguh ketengadahkan kerapihan menjahit sebuah cerita kasih.
tapi aku berkecamuk terus menerus,
menjaring kegundahan.
aku seperti telah kecamuk mega
sampai enggan menyembunyikan kegundahannya lagi.
Tak ada kamu, tak ada senyumanmu..
Aku belum bisa berlabuh dengan perahuku...
Aku belum bisa sauhkan layarku...
AKu belum bisa berbuat lebih jauh,
pergi lebih jauh...
Aku masih menunggumu...
Entah kau hadir dari arah samudra
atau mungkin kau menepukku dari belakang
dan tersenyum saat ku menoleh...
Aku belum bisa berlabuh,
sebelum kau datang dan mengajakku pergi...
Aku mungkin gagal menempatkanmu di lautan nirwana,
tapi aku tetap harus tahu
jika itu memang di luar jangkauku...
pada sebuah karang tak bertuan
yang sedang dihantam ombak
bersenanglah seluruh hatiku
pada sebuah impian tak tertuang
yang sedang dibaku tembak
mendaratlah aku pada sebuah permata
yang hanya bisa kumiliki
saat tangan ini sedang memelukmu
sudut pengambilan ucapanmu sudah benar.
apalagi kau katakan semuanya
tepat di saat aku hendak menggorok leherku sendiri.
aku menempatkan rasa terbaik untukmu itu
ini bukan ilusi.
jengah melihat tindak laku konyol,
adalah senyum
jauh melebihi gerakan awan di atasku saat ini.
kamu jinjing inspirasi menembus batas dunia
lantas aku menggores tintaku.
aku mencintaimu, demikian dalam.
namun disinilah kita, dengan kebimbangan
atau keputusan yang seakan sulit sekali dimengerti.
melainkan kenyataan yang sungguh nyata, tanpa rekaan.
itulah enaknya sebuah perasaan.
kita seakan hidup dalam buaian.
aku pun berputar di depan mentari.
bersama angin.
setelah bermasa pun lalu,
mentari pamit untuk menyingsing.
menghilang.
aku pun berhenti berputar
dan memilih untuk memikirkanmu.
dalam hilangnya mentari.
yang akan menjamah rasa terakhirku hari ini.
sengaja tersisa,
untuk dihamburkan ke arahmu.
adalah senyum,
yang akan mencocorkan sembilu lagi pada jiwa.
karena tak yakin akan terkembang
dari ruas-ruas bibirmu yang terlanjur menepikanku.