Boleh dikunjungi
Rancangan Situs oleh
(Last Update 31.07.04)
Free Web Site Counters
Tulisan Terdahulu
hendak tetapkan nafasmu sebagai kekasih abadiku,
aku tercenung dalam kebahagiaan luar biasa.
ini belum pernah kurasakan sebelumnya!!
melainkan baru saja.
beberapa menit yang lalu.
cinta bukan berarti sekarung mawar yang kau berikan kepadaku.
cinta kuartikan lebih pada sekarung kerikil yang kau suguhkan.
sekarung mawar lebih mungkin membuaiku.
menyenangkan dan melegakan, bahkan meninggikan rasaku.
namun juga mungkin membuatku lupa.
sekarung mawar lebih mungkin membuatkanku tawa.
namun kamu juga tentu tahu bahwa kadang lebih mudah membagi tawa dan keceriaan.
sekarung kerikil mungkin buatku tersandung,
ketika disebarkan di sepanjang setapakku menuju pintu surga jiwa.
namun disitulah aku dapat merasakan kepedulianmu,
terutama pada bagaimana kau akan berada di sisiku
ketika aku tersandung dan mungkin merintih pada sakit yang terlalu.
sambil menjelang terang,
kalau sampai aku sempat menaruh sampan di beranda rumahmu,
aku menuliskan namamu dalam formulir cinta
yang diberikan malaikat pencabut nyawa.
mereka akan menjagamu, kekasihku...
hingga kau tak perlu khawatir akan kepergianku.
itu karena aku ingin mengajakmu secara halus
untuk melintasi selat itu.
tidak.
tidak dengan sampan itu,
melainkan dengan perahu layar yang tentu saja memadai.
aku harap kamu mengerti,
mengapa penting sekali melintasi selat itu bersamamu.
kamu ibarat selimut hidupku.
kamu ibarat perhiasan tujuan nafasku.
jadi sungguh tak mungkin aku melintasi selat,
menjunjung keriuhan gejolak kehidupan di tanah seberang
tanpa kubawa nafas yang akan sambung nyawaku,
juga tanpa bawa selimut yang akan cantumkan kehangatan dalam dingin-dinginku.
apalagi jika aku berpikir,
betapa ompong dan bolong jiwa ini
ketika tak mampu memberikan seluruh sisi terbaik itu untukmu.
aku melintasi selat untuk mengembangkan dimensi hembusan terbaik dariku,
yang tentu saja akan memberikan cermin terbaik pula untukku.
dan aku ingin cermin itu justru memberikan yang terbaik untuk kita, kamu dan aku.
tidak hanya aku.
poles rentang wajahmu senja itu
dengan ketulusan senyumanmu beberapa malam yang lalu,
tak bisa aku titipkan pada hati sebagai sebuah kewajaran.
kau telah sontakkan selisih
pada keseharian kita yang seringkali terdiam tanpa nuansa.
kau telah tegaskan jurang
pada setapak berbatu kita yang seringkali dilewatkan
dengan berbagai celoteh ketidakpuasan.
kenapa tak dari dulu
kau munculkan selisih rasa itu?
kenapa harus kau sunggingkan senyum di atas matahari
agar aku dapat melihat dengan mata telanjang?
kenapa kemudian kau berubah pikiran,
dan memberikan imaji diam tanpa nuansa?
aku adalah selisih dalam hatimu.
kamu adalah cinta yang mendadak harus kujadikan sebagai katalisator selisih jiwa.
ragu menggagas hasratku ketika harus merayu batu.
lima tahun mengenal cinta,
kemudian aku tergugur di tengah tantanganmu.
kesal menjajah hati ketika harus merayu batu.
berpuluh kata-kata pengayuh kesan asmara
menjadi ompong dan tak mampu menggigit,
mungkin karena ketakutanku.
tidak terbayang
betapa hancur sebuah gagahnya riak batas pemikiranku.
adalah salah pada masa lalu.
adalah terlalu, pada pemuasan diri sendiri saja.
aku mengaku tenggelam, akibat ucapanmu.
bukan karena aku merenda galau dan bimbang atas salah.
ini lebih karena malu.
malu,
sebagai akibat tak bisa membuatmu menggerakkan sungging hatimu
dan tersenyum tanpa pernah berhenti.
malu,
karena aku seakan tak pernah memikirkan tentang kita.
apalagi,
ini tentang masa depan,
yang kau khawatirkan akan tertunda.
namun aku juga mengaku,
bahwa aku akan melingkari bulatan penebusan sisi egois itu
dengan keyakinan bahwa aku dapat mengejar ketertinggalan.
atau mengejar resiko.
atau mengejar selisih atas lalai itu.
gelang tawa itu taburkan relief
pada langkahnya yang berjenjang.
ada pendar cahaya menakuti
namun tetap harus kujelang.
meminta maaflah pada rembulan
yang pernah menegurmu
atas salah pada masa lalu
bukan untuk meleburkan terlalu pada kenangan
melainkan karena kita sedang mengejar kemenangan.
kemenangan jiwa.
dan kamu tentu tahu,
selalu ada relief untuk sebuah perjalanan.
relief yang hadir atas dasar kejujuran dan ketulusan.
Biasanya, keriuhan rasa tergali di depan pandang seorang pecinta. Meledak dalam gejolak rentetan harap, sejajar dengan hembusan keinginan mencumbu bayang-bayang fantasi terindah dalam nafas.
Petang itu, angin menyusup demikian lembut tak bersuara, namun aku merasa sejuk dalam pori hingga menelisik sekujur tubuh yang masih saja bernafas. Kemudian, kamu datang. Tidak banyak gerak atau kata yang mampu tersimbul dariku. Aku terdiam, seakan roh lupa pada manisnya kinetisme tubuh. Aku hanya jelang tatapan darimu dengan balas tatap, tanpa sempat menggagas apa-apa. Apa itu karena kau selayak bidadari?
Biasanya, aku akan tertawa dalam hati, ketika menemukan sosok wanita cantik. Meronta sedemikian rupa seluruh hasrat, meski tidak untuk dijabarkan dalam ramai tindak laku. Semua tetap tercuai dalam pemikiran nakal seorang lelaki yang kerap setia pada angin.
Namun petang itu, aku terdiam. Aku menemukan jeruji di atas senyuman manis tipis yang aku rasa kau sunggingkan dengan sengaja terhadapku. Berjuta, reka garis dalam kertas kosong itu. Membahana, melintasi hulu berulang kali dan membawa berita baik setiap kalinya. Apa kau datang sebagai seorang putri yang butuh pembebasan jiwa? Apa kau memang bawa jeruji itu dari tempat kau berlabuh? Kemudian, aku kosong. Aku bolong. Aku rendahkan keinginanku dan mulai berpikir.
Kau adalah wanita yang mampu menjadikan sejenak diam. Seperti bukan pesona, melainkan kewajaran dari sisi seseorang yang tidak bisa dihilangkan, melekat demikian peka.
pada jerujimu, lantas aku kabarkan sebuah kasih. Tidak berujung.
aku lebih berjalan daripada berlari.
aku tahu pasti susuran langkah
dan lembutnya mata mengumpulkan imaji.
aku tahu setapak itu akan terantuk naung.
maka, disitulah aku akan rebah
menjemput rawat jaga kasihmu
pada jiwaku yang lelah.
juga pada inginku meremajakan hari,
bersamamu.
sekian lama aku mencoba
menepikan rindu kekal pada tatapan
menghilangkan haus guncang kegembiraan
tapi aku hanya sekujur manusia
dalam ciri-ciri jeruji keinginan
rongrong saja malam ini
atau juga malam-malam selanjutnya
dengan kata-kata surgamu
tentang membatasi emosi jiwa pengharapan
aku semakin tua...
apa kau tak sempat mampir untuk sekali saja?
aku semakin tua
dan hanya ditemani delman
yang juga menua
terhadap sendiri,
aku sempat torehkan tawa.
dalam redupnya mata hembusan bayu
dalam rentannya rasa pencokokan air mata.
terhadap sendiri,
aku titipkan beberapa kata
tentang lembut pernah sentuhanmu.
libas kemalasan hari
dengan keinginan dan keharusan.
ini bukan main-main,
semenjak hidup merengek terus, minta dinafkahi.
atau minimal, disusui.
kontrak lautan sudah dirintis
dari sekakek senenek buyut lintasan waktu.
aku hanya mendapat waris,
meneruskan jari-jari kebiasaan lama.
menarilah dalam diam, kerang-kerangku.
menarilah dan aku akan datang.
dia tidak pernah habis oleh takut
percayalah pada kata-kataku....
terakhir, aku melihat roda dua miliknya di ujung tebing
tersandar sendirian.
aku memang tidak melihatnya di sana.
hanya roda duanya saja di ujung tebing.
tapi seperti sudah kukatakan,
dia selalu pandai menceritakan ketakutan sebagai lelucon.
jadi aku yakin dia pun ada di ujung tebing,
bahkan mungkin di sisi yang paling berbahaya.
sementara dia meninggalkan pesan untuk kita
lewat sepeda roda duanya di ujung tebing.
jejal api itu menggema
dan runutkan ngilu pada lontaran nafas sang mangkuk emas
aku datang dengan pedang terhunus
namun aku terpaksa kembali
sambil menyiapkan diri merajut sutra.
aku seakan tak sanggup membunuhmu
di ujung menara penyimpan harta terpendam.
aku keburu terbias haru,
dan ingin menyiapkan diri untuk cinta saja.
untuk rumah.
untuk tidak paksa lagi membunuh lagi.
jadi,
biarkanlah saja berlalu, sayang...
sesuatu memang terkadang sudah ditempatkan demikian rupa
pada peruntukkannya.
tidak bisa kita rubah.
tidak bisa aku dan kamu perbaiki lagi (bahkan mungkin kita merusaknya, bukan perbaiki)
jadi,
lepaskanlah seluruh beban itu, sayang...
daripada lelah memikirkan jalan-jalan alam yang mengagetkan,
juga kadang memainkan runut rasa dalam hati kita,
lebih baik kita bercinta saja malam ini
dan luapkan keindahan dalam dunia kita sendiri.
keinginan mencumbumu anjlok,
lantas terlahir senyuman terbaik
terus?
seperti mesin yang terantuk masalah pada pengapian.
aku bahkan sulit menikmati dentang suaramu,
seakan ingin menutupi lubang-lubang telingaku saja
dan pergi tertidur tanpa rasa bersalah.
apa ini karena kita berada di daratan paling gila di negeri tanpa batas?
atau memang sudah ada garisan skenario yang tak terbantahkan?
dari sunggingan bibirmu itu.
waktu itu,
beberapa detik yang lalu.
semakin tergolong aku, lelaki paling beruntung di seujung nafas dunia.
bukan semata karena senyuman,
melainkan karena aku sendiri tidak bisa menahan diri
untuk tidak tersenyum bahagia
setiap saat memikirkanmu.
apa kamu pernah menjanjikan aku sesuatu?
tidak baik melontarkan kata-kata pengajak harap,
jika masih terlalu ragu untuk menepatinya.
kau lontar saja bebunyian dari mulutmu itu,
untuk didengar udara lepas di atas lautan.
aku tidak memerlukan omong kosong.
aku memerlukan kerjasama.
terus?
apa kelahi menjadi solusi rentan penggembosan?
aku rasa tidak.
kita justru letupkan emosi
dalam bentuknya yang paling sempurna.