Boleh dikunjungi
Rancangan Situs oleh
(Last Update 31.07.04)
Free Web Site Counters
Tulisan Terdahulu
aku mungkin lupa merek parfum yang kamu pakai,
tapi aku ingat sontakan wangimu.
aku mungkin tak begitu ingat cerita-ceritamu,
tapi aku menikmati sekali mendengar urat suaramu melantun.
tak ada maksud lupa.
atau cuaikan rinci nafas harianmu.
aku justru mencintaimu sangat.
mereka tidak peduli dengan cinta.
selama pundi-pundimu lancar mengatakan ikatan pertemanan,
mereka akan tetap diam.
membisu.
semenjak tegukan Carlsberg terakhir itu,
aku tak pernah dengar kabarmu lagi.
kau memang mengatakan bahwa kau akan pergi,
entah kemana.
semenjak kecupan terakhirmu itu di bibirku,
kau lenyap tak berbekas.
kau memang wanita penghembus nafas surga palsu,
yang teramat takut menorehkan janji.
harus segera mencari waktu.
ada satu perkara penting
dan runut dalam acuan hati ini seterusnya.
perkara yang sudah mendekati ajal
dan kehilangan banyak ruang waktu.
harus segera mengubah paradigma tentang waktu.
aku tidak ingin lagi berbincang panjang lebar
tentang seluruh teori yang mencarutmarutkan pikiran jernihku.
aku terlalu mencintai nafas-nafasku di sampingmu,
bersamamu.
aku lebih baik berkelahi dengan hukum alam atas waktu-waktu.
atas saksi-saksi umat di tengah-tengah waktu yang belum bisa aku mengerti.
peruntukan belahan jiwa tak ingin berlari
dan menjauh dari keseharianmu yang sederhana.
pertautan ikatan batin tak ingin sembunyi
dari sinaran nurani paling murni sosokmu.
tak bisa cukup berdiri saja disana
sambil menatapku lembut.
kau harus mengucap sepatah kata agar aku tak pergi.
(kecuali jika kau memang ingin aku pergi)
tak bisa hapus demikian mudah sebuah titik buruk ingatan,
membutuhkan waktu dan kesabaran.
termasuk satu kenyataan bahwa kau harus sering mendamaikan resahku.
jadi lumpuh rasanya cinta,
membentur karet gelang yang nyaris meleleh oleh panasnya nafsu.
segera pergi, mari...
karena ada sebuah kolam di tengah hutan
dimana aku akan menyusun drama celoteh riak air.
penoreh kata-kata, kemarin datang membawa tongkat.
aku menyambutnya hangat,
dan kukatakan 'berapa banyak sudah kau benamkan cuatan kata-kata itu
pada benak anak-anak negeri?'
dia bilang 'tak ada.'
entah ironi atau sebuah ketakutan akan pengakuan,
aku mendekam dalam kebisuan.
seakan ingin menghakimi tapi tak punya peluru.
seakan ingin mengatakan kebenaran yang masih sulit dibuktikan.
dimana jejak hingga dengus pembauku luput?
dimana pula remah hingga sisiran saringku nihil?
aku ingin pulang, ananda!
sudah saatnya mencuci mata ini dengan sepi
sudah saatnya mati, seluruh buas nafsu.
di titik itu, aku akan menulis surat untukmu,
mungkin sekali lagi,
sebelum aku akhirnya benar-benar sadar
akan longsor nafsu yang tak tertahankan.
bawa saja seluruh hatiku
bersama lelangkah kakimu yang kadang tak terbalut sendal,
telanjang kaki di atas pasir-pasir pantai yang putih.
telanjang kaki di tengah kapal kayu kecilmu itu.
aku, ingin selalu menjadi alasan buat dirimu
untuk kembali ke daratan,
memakai sendalmu lagi
dan menjejak alas bumi daratan.
aku, ingin selalu menyuguhkan permainan terbaik akan cinta bagi hatimu
hingga laut adalah media terbaik penyampai kerinduanku padamu,
pencokok rindumu untukku.
aku, ingin tertulis dalam jujur benakmu
meski jejarak itu demikian tak terbayangkan
meski tak pernah ada kepastian akan bersama lagi
dalam ruas-ruas pertemuan duniawi.
bawa saja seluruh hatiku,
dalam pengertiannya yang terdalam.
bukan hanya kau belah dadaku dan membawa jantungku bersamamu.
orang banyak berkata "Satu lagi!"
hujamkan melati terwangi di seluruh jagat
orang kemudian banyak mendengar "Cukup!"
orang juga bergumam "Love..."
pada kantong-kantong ego para punggawa negeri.
hidungku sudah pekat oleh bau busuk kesombongan
dan aji mumpung duniawi yang diusung tiada henti.
tapi melati itu mendadak susah dicari.
tak ada yang menanamnya lagi.
tak ada yang menjualnya lagi.
bahkan tak ada yang berani mengambilnya lagi di rerambah rimba raya.
apa harus kupetik sendiri melati itu di ujung rerumpun,
meski aku tak tahu bagaimana memetiknya,
bahkan tak tahu dimana mencari melati-melati itu?