Boleh dikunjungi
Rancangan Situs oleh
(Last Update 31.07.04)
Free Web Site Counters
Tulisan Terdahulu
kutuliskan saja kata itu berulang kali di atas kertas.
lantas dibakar, lenyap sebagai abu.
terima kasih kepadamu.
atas telingamu yang tertutup.
kelelahan seperti tak pernah mau berhenti.
runtuh sudah geligi dan taring penahan keterpurukan.
aku jatuh.
berdebam.
namun ingin bangkit kembali.
ragaku sudah lelah.
sangat.
luka-luka sudah semakin menganga.
parah.
aku terlontar jatuh.
hempas-hempas.
namun akun tetap ingin tegak kembali,
meski mungkin untuk menjemput mati.
kosongkan saja kulitmu dari peluh!
pelanggan kesetiaanku sekarang sudah bubar.
turunkan saja tiraimu dari teduh!
aku sungguh nyata di depanmu,
mengharap cinta buatku kuat.
tak ada lagi yang tersisa.
aku jadi berpikir,
mungkin lebih baik begini.
pencetus semangat perlahan-lahan mengendur.
tak lagi suntikan senjapan-senjapan.
aku kemudian berpikir,
janganlah ini hentikanku.
penggelora bahagia itu masih di depan mata,
merangsek mesra hingga ke relung paling dalam.
dan itu hanya hartaku tersempurna,
hingga ujung nafas paling muda.
perantau-perantau muda menghampiriku,
sambil melontarkan pertanyaan.
maaf saja,
pertanyaanmu tak bisa kujawab sekarang.
dulu mungkin, tapi tidak sekarang.
perantau-perantau muda bilang mereka mengenaliku,
sambil mendecakkan kekaguman.
maaf saja,
aku tak peduli dengan semua popularitas.
dulu tak sengaja, kini kuhindari.
aku menyerahkan kartu nama.
kambuh.
keningku mendadak mati,
padamu.
dua kali.
atau bahkan tiga kali?
aku lupa.
aku memberikan peluang.
padamu.
berulang kali.
atau juga tanpa batasan waktu?
dimana aku hanya bisa menunggu.
aku memberikan hatiku.
padamu.
satu kali.
jadi,
aku tunggu kedatanganmu lagi
di tepi sungai pembatas dua negeri,
untuk selamanya.
poles asmara dan kegilaan sesaat, melandaku lagi.
asmara telah kambuh.
dan aku merasa tak punya obatnya.
tak mampu jemput rasa, dari kecupanmu.
keningku memang jauh,
dari sujud-sujud di atas sajadah.
sebagai kenangan yang terindah,
aku berani mengajakmu ke atas bukit
dan bercinta di sana hingga puas,
hingga lelah dan wajah terhias oleh senyum.
tapi,
setelah itu aku harus pergi.
besok
aku kerahkan tiupan angin dari dalam bumi
baik saja jika kau tempelkan peringatan di dahiku.
di depan gereja
besok
di utuh rasaku padamu
besok
jika aku belum mati
untuk bersihkan noda-noda cinta yang menggunung
dan terlalu gagah mencantumi pelosok-pelosok rasa.
diantaranya, noda-noda yang kamu sebarkan...
begitu saja.
aku ingatkan seluruh dewa dari luas alam yang alami
untuk pertahankan kesucian ranah terbaik yang agung
dan terlalu sayang untuk diperas hingga tak bersisa.
diantaranya, ranah-ranah yang pernah kamu singgahi...
di situ saja.
namun baik saja pula jika kau rendahkan suaramu,
saat menegurku.
ingin segera kukulum saja kata-katamu
dan kata-kataku yang terlanjur mengudara
dan membuat sakit.
ingin segera kukatakan pada seluruh kujur alam dan religi,
bahwa aku telah mengerti,
jadi tolonglah aku...
pendulum cinta dalam nurani telah mati,
tertusuk sembilu yang muncul berkali-kali,
entah dari langit mana.
pembangkit keinginanku untuk mendekati Tuhan pun luntur,
hanyut dan luluh menjadi satu,
meski entah ke samudra mana akan bermuara.
tapi aku tak ingin mati dalam balutan dosa,
meski tak tahu persis harus menginjak pijakan yang mana.
aku pun memilih tertawa
dalam seruputan kopi susu hangat setiap pagi
di teras rumah yang kian berantakan,
sampai nanti aku tertampar dan sekarat.
biduan lama resah memang saat nyanyikan lagu cinta
air mata tumpah longsorkan bedak,
redupkan tuntas seluruh kecantikan palsu.
tinggalkan cahaya alami yang nampak pudar sore itu.
biduan lama kemudian memintaku
untuk menuliskan syair lagu pribadi, tentang cinta.
"hanya untuk kunyanyikan sendiri. tak akan kupublikasikan," katanya.
aku mengangguk saja, tak keberatan.
apalagi, aku pernah mencintainya dulu, 20 tahun yang lalu.
apa resah cintamu karena kecewa?
atau karena aniaya rasa oleh sosok tercintamu?
aku ingin sekali bertanya, kepadamu.
juga kepada bapakku.